Nasib Cagar Budaya di Jakarta - 1 (Rawan Punah)

Rumah Cantik.
Pasal 1 ayat (1) UU No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya menegaskan bahwa bangunan cagar budaya perlu dilestarikan karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan juga kebudayaan. Namun fakta membuktikan, bangunan cagar budaya di Jakarta rawan punah akibat dirombak total sehingga tak lagi sesuai dengan struktur dan disain aslinya. Kenapa?

Berikut tulisan yang saya ambil dari rubrik telisik Koran Kota edisi 13-20 Desember 2011 yang saya bagi dalam tiga postingan. Selamat membaca.

Juni 2009, publik Jakarta disuguhkan oleh gencarnya pemberitaan media cetak, online dan elektronik tentang perombakan sebuah bangunan cagar budaya tipe A yang berlokasi di Jalan Teuku Umar No 42-44, Menteng, Jakarta Pusat, yang dihuni pengusaha Hartati Murdaya. Bangunan peninggalan zaman Belanda itu diubah menjadi bangunan modern dua lantai, sehingga keaslian struktur dan disain bangunannya hilang sama sekali. Padahal, Perda DKI No 9 Tahun 1999 tentang Pelestarian Pemanfaatan Lingkungan dan Bangunan Cagar Budaya, tegas menyatakan bahwa bangunan cagar budaya tipe A tidak boleh diubah. Jikapun penghuni bangunan ingin merehab, maka harus tetap sesuai dengan struktur dan desain bangunan aslinya.

Kini, jika kita jalan-jalan ke Jalan Cik Dik Tiro, juga di kawasan elit Menteng, Jakarta Pusat, dan singgah di kavling No 62, kita akan disuguhi pemandangan yang sangat berbeda dan menimbulkan keprihatinan karena dulu, di lahan seluas 863 m2 pada kavling tersebut terdapat sebuah rumah yang telah berkali-kali digunakan para kreator dari bidang seni untuk syuting film dan video klip musik. Film yang menggunakan bangunan itu sebagai salah satu setting utamanya adalah “Kabut Sutra Ungu” yang dibintangi Jenny Rachman, dan “Dunia Tanpa Koma” yang dibintangi Dian Sastrowardoyo. Sedang video klip yang menggunakan bangunan itu sebagai setting utama adalah video klip lagu “Peri Cintaku” yang didendangkan Marcell Siahaan, dan “Asmara” yang dinyanyikan Novia Kolopaking. Bahkan pada 1993, bangunan itu dianugerahi penghargaan oleh Gubernur DKI Jakarta Surjadi Soedirdja.

Mengapa bangunan itu begitu menarik perhatian dan istimewa? Jawabannya sederhana; karena rumah yang pada 1993 ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya tersebut memiliki struktur dan desain bagunan khas era pemerintahan kolonial Belanda. Rumah yang dibangun pada 1932 itu bercat putih dan memiliki banyak jendela. Di halaman depan dan samping rumah terhampar taman yang ditata apik dan ditumbuni berbagai jenis tanaman bunga, dan dindingnya dirambati tanaman rambat. Jika bunga-bunga tanaman itu yang berwarna-warni mekar, rumah itu nampak sangat asri, indah dan memesona. Apalagi karena taman juga dihiasi sebuah sangkar berisi beberapa ekor burung dara yang senantiasa hinggap dan berterbangan ke sana ke mari dengan bebasnya. Tak heran jika rumah seluas 350 m2 itu memiliki sedikitnya tiga julukan, yakni Rumah Antik, Rumah Cantik, dan Rumah Bunga.


Rumah Cantik setelah dihancurkan..
Kini, coba lah Anda bertandang ke rumah yang ditetapkan menjadi cagar budaya melalui Surat Keputusan (SK) Gubernur No. 475 Tahun 1993 tentang Penetapan Bangunan Sebagai Cagar Budaya itu. Rumah tinggal puing-puing karena setelah laku dijual si empunya, sekitar Maret 2011 lalu pemilik baru rumah itu menghancurkannya untuk diubah menjadi bangunan modern seperti yang dihuni Hartati Murdaya. Untung, publik mengendus hal ini dan melapor ke Pemprov DKI Jakarta, sehingga karena pelaksanaan rehab itu tidak dilengkapi izin mendirikan bangunan (IMB) dan juga tidak dikoordinasikan dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) sebagai penganggung jawab kelestarian cagar budaya, proses rehab dihentikan Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) DKI, dan disegel.

Sayang, tindakan P2B terlambat karena pekerja perehab rumah itu telah mencopoti kaca, teralis antik dan kusen seluruh jendela dan pintu, serta meruntuhkan sebagian dinding dan atap bagian depan rumah. Setelah disegel, rehab tidak dapat dilanjutkan dan rumah itu terbengkalai. Kini rumah itu tak ubahnya bagai reruntuhan sebuah bangunan yang tak penting dan tak menarik, dengan ilalang dan semak tumbuh dimana-mana. Tanaman yang merambat di dinding pun tak lagi terurus. Begitu pula tanaman-tanaman bunga, sehingga sebagian besar mati dan rumah tak asri lagi.

Hendri (35), warga yang tinggal tak jauh dari Rumah Cantik, mengaku sangat menyayangkan penghancuran rumah itu karena banyak orang, termasuk dirinya, menyukai rumah itu, sehingga ada yang menjulukinya sebagai Rumah Antik, Rumah Cantik atau Rumah Bunga.

“Seingat saya, rumah itu mulai dihancurkan sekitar sembilan bulan yang lalu atau sekitar Maret 2011. Waktu penghancuran telah berjalan beberapa hari, mungkin sekitar seminggu, ada beberapa orang dari pemda yang datang, dan nggak lama setelah itu, sampai sekarang, penghancuran berhenti. Tapi yang saya ingat, tulisan bahwa rumah itu disegel baru dipasang 1 Desember 2011, saat media masih gencar memberitakan soal rumah itu. Selumnya nggak ada. Saya juga gak tahu kenapa,” katanya.

Yang menarik, melalui Surat Keputusan Gubernur KDKI Jakarta Nomor D.IV-6098/d/33/1975, Pemprov DKI Jakarta telah menetapkan kawasan Menteng sebagai kawasan cagar budaya, tapi mengapa kasus penghancuran dan perombakan total bangunan bersejarah terus berulang? Padahal di kawasan elit ini lah Gubernur Fauzi Bowo bermukim dan memiliki rumah dinas. Selain itu, Pemprov memiliki satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang bertanggung jawab terhadap kelestarian heritage, yakni Disparbud dan jajarannya. Adakah ini terkait isu bahwa pembeli rumah itu adalah Edhie Baskoro Yudhoyono alias Ibas, salah seorang anak Presiden SBY, dengan harga Rp160 miliar?

Anggota DPRD DKI Jakarta Ashraf Ali menilai, penghancuran Rumah Cantik tersebut merupakan bukti tidak efektifnya kinerja jajaran aparat Kecamatan Menteng dan Disparbud.

“Kalau setiap kali aparat-aparat itu baru tahu setelah cagar budaya dirombak atau dihancurkan untuk dijadikan bangunan baru dengan struktur dan disain yang berbeda daria slinya, lambat laun habis semua heritage di Jakarta. Karena itu saya minta Gubernur mengevaluasi kinerja aparatnya ini agar kejadian seperti ini tidak terus terulang,” tegasnya.

Di sisi lain, juru bicara presiden Julian Adrin Pasha telah membantah kalau Ibas merupakan pembeli rumah itu. Ia mengatakan isu itu hanya bohong belaka. Sedang Dyah, sang mantan pemilik rumah, kepada sebuah media mengakui kalau rumah itu memang telah ia jual.

“Saya menjual rumah itu dengan harga sekitar tiga juta dolar AS atau lebih dari Rp 27 miliar,” katanya. Namun ia juga membantah kalau pembeli rumahnya adalah Ibas. (bersambung)


0 komentar:

Posting Komentar